Esaiku Dibukukan: Tuhan Masih Pidato (53)

Esaiku Dibukukan: Tuhan Masih Pidato (53)

Berburu Saf Depan

KERAP jika salat berjamaah, imam mengingatkan makmum untuk mengisi saf-saf terdepan yang masih kosong. Malah dibarengi janji dan peringatan tentang pentingnya mengisi saf terdepan. Makanya, yang imannya tebal dan sangat mengerti ajaran Islam yang ia anut akan berlomba-lomba mengisi saf terdepan.

Walau ada imbauan mengisi saf depan, namun selalu saja ada yang kosong. Ada saja orang yang tak mau bergeser dari tempatnya berdiri padahal di depannya kosong. Mereka sering saling dorong untuk mengisi saf depan. Anehnya, yang berada tepat di belakang saf yang kosong, memerintahkan makmum yang berada di belakangnya. Dan adegan seperti itulah yang saya dapatkan kala mengikuti ritual salat Jumat di sebuah masjid di Makassar.

Saya berdiri di saf belakang. Di depan saya meminta mengisi saf kosong di depannya. Majulah saya melewati satu saf. Baru saja saya akan memulai takbir, di depan saya meminta pula mengisi saf kosong di depannya. Duh, saya sempat bergeming. Tapi karena tak ada yang bergerak, saya pun segera melewati satu saf lagi. Saat saya melihat dua saf di depan saya banyak yang kosong, saya langkahkan kaki menerobos makmum yang sudah khusyuk salat.

Mengapa tak sedikit orang yang ogah berburu mengisi saf depan ketika salat? Padahal di Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah, saya melihat orang-orang berburu saf depan. Saking berburunya tempat yang dinilai jauh lebih makbul, orang-orang berhimpitan. Malah, tak jarang ada yang berdiri di antara saf, berdiri di depan orang. Selain itu, ada pula orang yang tak mau berhenti salat sunah sambil menanti salat wajib demi tempatnya tak digeser.

Memang mestinya jika ingin mendapatkan tempat yang makbul, orang harus berlomba mengisi saf terdepan. Lantas mengapa di Makassar, atau di beberapa tempat lain di daerah ini, malah saling mendorong untuk mengisi saf depan dan terkesan menyuruh orang lain? Anehnya lagi, ada orang yang dengan wajah tanpa senyum menyuruh orang bergeser ke depan dan ia sendiri tetap berdiri di tempatnya.

Pun sebelum saya mengangkat tangan untuk mengucapkan takbir salat pada Jumat siang itu, berkelebat di benak tentang banyaknya orang yang kini mendekat pada kandidat pemenang Pilkada. Mereka tiba-tiba muncul entah dari mana dan bergaya pejuang. Padahal, mereka sebelumnya berada di kubu lain. Mereka seakan berlomba mengisi saf terdekat pada sang pemenang.

Akankah si pendatang baru itu bisa menarik perhatian sang pemenang? Jawabnya: tergantung! Sebab, misalnya pada periode silam di sebuah kabupaten yang tak jauh dari Makassar, tak sedikit yang mengeluh karena tak mendapat porsi pembagian kue alias proyek dari bupati, padahal ia merasa telah bekerja keras. Sementara mereka melihat bahwa justru yang sebelumnya berada di pihak lain, mendapatkan porsi pembagian yang lebih baik. Itu sebabnya, pada periode Pilkada ini, mereka hengkang ke calon lain.

Mereka yang tak berkeringat. Mereka yang tak bekerja. Mereka yang berada di pihak lain. Mereka yang selalu mencari keuntungan. Mereka yang mau gampangan, memang selalu saja muncul di garis finis. Mereka tinggal menunggu pembagian hadiah kemenangan. Padahal mereka yang bekerja saja, belum tentu mendapatkan bagian. Tapi, mereka tak peduli. Mereka selalu punya cara yang mampu memikat agar mendapatkan perhatian pula.

Soal pembagian atau pemerataan dari hasil kerja keras tim sukses, memang menjadi dilema di kekinian. Mereka yang bekerja itu, menuntut bagian. Sebab, dari awal, mereka bekerja berdasar untung-rugi, bukan karena ikhlas. Akibatnya, kerap terjadi kecemburuan antara mereka sendiri. Itu sebabnya, ketika ada pendatang baru yang tiba-tiba mengklaim dirinya juga adalah pejuang, akan digesek oleh mereka yang telah bekerja keras.

Memang lucu! Karena selalu saja ada yang mengaku bekerja keras setelah pemenangnya jelas. Mereka itulah yang berdiri di saf bagian belakang (atau malah di luar masjid) yang berharap mendapatkan pahala yang jauh lebih makbul. Mereka itulah yang dengan muka garang, menyuruh orang lain maju ke depan. Mereka yang hanya mau hasil tanpa mau berjuang. Mereka yang ogah berburu mengisi saf depan! *

Makassar, 2 Juli 2005

Tinggalkan komentar