Esaiku Dibukukan: Tuhan Masih Pidato (34)

Esaiku Dibukukan: Tuhan Masih Pidato (34)

Ijazah Palsu, Politisi Palsu, Menteri Palsu…!

PAK Ketua KPU sebuah kota, secara berapi-api berujar pada saya di suatu hari: ‘’Mana mungkin senior kita, orang tua kita, sahabat kita dituding memakai ijazah palsu. Itu kan fitnah!’’ Pun saya hanya mengangguk-angguk tanpa memberi jawaban. Dan di bibirku, terhias senyum. Manis. Sangat manis!

Adakah ijazah ‘sang senior’ itu asli atau palsu? KPU itu tak memasalahkannya. Tak perlu ada klarifikasi. Tak perlu ada investigasi. Tak perlu ada kecurigaan berlebihan. Toh, yang ribut hanya Panwaslu. Adapun kebiasaan orang Indonesia, ribut-ribut itu hanya berupa hiburan. Hanya iklan. Sebentar lagi hilang. Hilang. Hilang. Hilaaaanngggg..!

Seorang petinggi birokrasi di sebuah provinsi, dengan kerut bergaris-garis di keningnya, berujar pelan kepadaku di suatu malam. ‘’Bagaimana mungkin teman kita itu berijazah SMA palsu, tidakkah ia sarjana? Bukankah ia sedang mengambil program magister?’’ Pun saya hanya mengangguk manis. Kelewat manis!

Adakah ijazah legislator itu palsu? Tak ada yang memasalahkannya kecuali media massa. Itu pun tak lama. Hanya sebentar. Toh, hanya iklan dari pertunjukan besar yang bertajuk ‘’dugaan korupsi’’. Ya, sebentar lagi hilang!

Ketika seorang legislator asal daerah bernuansa Bugis-Makassar digelandang sebagai tersangka ‘’gula ilegal’’, manisnya terasa di pembuluh darah. Tak sedikit yang berpikir miring. Malah ada beredar SMS yang isinya menyebutkan nama seorang pendekar hukum yang tak perlu lagi repot-repot menjadi Jaksa Agung sebab sang legislator yang menyandang banyak predikat itu telah dijadikan tersangka.

Adakah tersangka gula ilegal yang legislator itu bakal lolos dari jeratan hukum? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Yang pasti, ‘ilmu Soeharto’ mulai digunakan. Sakit. Sakit. Sakiiiiittttt…! Ya, benar-benar sakit karena ‘katanya’ polisi: ‘’ia benar-benar sakit!’’

Terkait yang palsu-palsu itu, khususnya kasus gula ilegal, beberapa teman dari tanah seberang menelepon dan juga mengirimkan SMS. Pesannya: ‘’mengapa orang dari daerah Anda yang selalu terkait korupsi?’’ Duh, saya pening. Betulkah? Dan nama-nama yang disebut, tak berani saya katakan tidak. Ya, memang benar. Tapi apakah di daerah lain tak ada koruptor? Apakah hanya orang-orang yang datang dari daerah saya?

‘’Kita memang suka saling menjatuhkan. Kita tak pernah senang jika orang dari daerah kita sukses. Kita selalu iri. Kita tak mau teman kita sukses. Kita mau… hanya kita yang sukses!’’ Kalimat tersebut meluncur dari seorang elite politik. Namun saya hanya mengangguk. Betulkah? Ya, bisa jadi iya. Tapi… mungkin juga tidak.

Alamak! Saya seperti plin-plan, tak mampu mengambil sikap. Ataukah saya, seperti pula orang lain, sudah sangat apatis melihat kebenaran yang abu-abu. Tak jelas lagi. Sebab, benar atau tidak itu tergantung dari sisi mana kita memandang. Bukan lagi demi kebenaran mutlak!

Makanya, saya juga tak bisa menjawab pertanyaan istri saya—pertanyaan yang dicuatkan pula oleh seorang teman—‘’mengapa orang-orang DPR, DPRD Tingkat I, maupun DPRD Tingkat II di masa dulu, di masa Orde Baru yang kita tuding sebagai era korupsi, tak sekaya, tak sehebat, tak seangkuh, tak seenaknya seperti legislator era reformasi?’’

Kepalaku pening. Saya teringat senior saya Rahman Arge. Ia pernah menjadi anggota DPR-RI. Rumahnya masih yang itu-itu. Mobilnya masih yang itu-itu juga, Toyota Hardtop bernopol DD 15 RA yang makin tua. Tak ada kekayaan. Menurutku, ia seperti mantan anggota dewan di masa Orde Baru lainnya, tetap miskin dan bersahaja.

Memang, sangat beda. Teman-teman saya (jika tak mau menyebutnya bekas teman-teman saya di dunia jurnalistik dan kesenian) yang ada di lembaga legislatif di kekinian. Saya ingat bagaimana kami sama-sama miskin dan mengontrak petak-petak kamar dengan teman-teman yang kini ada di DPR-RI. Tak lebih dari enam bulan resmi sebagai legislator, saya bertemu. Ia sudah tahu menyetir mobil. Mobilnya sedan mewah. Wow! Saya terpana kala ia mengunjungiku di kantor saya. Mobilnya parkir tepat di samping sepeda motorku.

Kala kembali di kampung, saya bertemu seorang teman lama di jurnalistik. Saya bertemu di kampung saya. Di desa saya. Ada acara saat itu, gawean KNPI Sulsel. Merasa sebagai tuan rumah, saya mendatanginya lalu menyapanya. Tapi ia mendelik. Ekor matanya tajam melirik. Oh, ia tak mengenalku. Malah saat kujabat tangannya, ia tak bersuara dan matanya entah ke mana.

Di kampung saya, di daerah saya, di Sulsel ini, saya melihat begitu banyak teman saya yang hidupnya hebat. Mewah. Rumahnya gedongan. Rumahnya tak hanya satu. Mobilnya lebih dari satu. Malah ada yang kerap mencoba menyelipkan uang ke tanganku. Duh, mereka begitu kaya! Sangat kaya! Padahal, rasanya baru kemarin ketika bersama-sama miskin.

‘’Anda di gedung sana, di gedung dewan, tak ada lagi yang mengingat kami yang ada di rumah kami yang miskin’’ – begitu kata seorang teman jurnalis yang gerah dianggap melupakan kawan kala memberitakan pongah ‘bekas temannya’. ‘’Siapa yang lupa?’’ Tegasnya berapi-api. ‘’Kami masih selalu ingat. Dan Anda mengingat kami, ketika Anda sedang ‘tenar’ di koran!’’

Rasa-rasanya persahabatan sudah lama palsu. Bukan hanya ijazah palsu. Toh, mereka yang suka palsu-palsu itu (kecuali uang palsu), tak peduli lagi di sekitarnya. Lagipula, sebentar lagi hilang. Tak ada lagi isu. Tak ada pengadilan. Tak ada apa-apa.

Tidak seperti teman saya yang ‘kenek tukang’ mengeluhkan istrinya yang dihentikan sebagai sales. Pasalnya, si istri memasukkan ijazah palsu yang difotokopi lalu nama diganti. Tapi seorang keluarganya melaporkan. ‘’Mengapa keluarga sendiri berbuat seperti itu. Kan ia tahu jika istri saya punya ijazah Cuma ada di Kendari, kan perlu biaya besar ke sana.’’

Andai istri teman saya itu legislator, saya yakin tak akan kena PHK. Toh, yang palsu-palsu sudah sering kita lihat. Tapi semuanya hanya iklan. Sekilas lalu hilang. Isunya habis. Selesai!

Seperti keberadaan Pengesahan Perpu No 1/2004 mengenai Kehutanan yang membolehkan penambangan di hutan lindung, kita tak bisa berkata apa-apa. Mulut kita terkancing. Bagaimana bisa hutan lindung bakal dirusak. Dan gilanya, wakil-wakil rakyat yang terhormat itu meneken, merestui usulan Presiden Megawati. Dan.. dan… pengesahan Perpu yang sempat tertunda empat bulan itu, ditengarai terkait uang. Jadi? Artinya, penekenan itu bersifat palsu karena tidak murni lahir dari nurani dan segala pertimbangan moralitas, kejujuran, dan kebenaran!

Akan tetapi, negeri ini tak perlu lagi orang jujur. Tak perlu kebenaran. Toh, ketika orang-orang Minahasa yang berada di Teluk Buyat yang diduga tercemar mercuri dan arsen akibat pembuangan limbah PT Newmont Minahasa Raya, Menteri Kesehatan Sujudi begitu enteng berkata: ‘’Mereka hanya menderita penyakit kulit. Bukan minamata. Kan hanya ada empat orang yang datang ke Jakarta…’’. Ah! Bagaimana mungkin seorang menteri mengeluarkan pernyataan yang menyakitkan rakyat.

Tampaknya, semua di negeri ini sudah palsu. Menteri pun palsu, sebab nasib orang-orang Minahasa yang berada di sekitar Teluk Buyat, bukan lagi pekerjaan berat bagi pemerintah yang sudah berani memvonis sementara belum melakukan penelitian. Uh, jangan-jangan… tulisan ini pun palsu. Karena kita memang palsu! Banyak orang Indonesia yang palsu, sebab selalu merasa sebagai orang Amerika. Mereka itulah yang selalu mementingkan kepentingan Barat! *

Makassar, 24 Juli 2004

Tinggalkan komentar