Malu ke-202 – Edisi: Peca’ Sura

Malu (202 – Edisi: Peca’ Sura): Seorang teman mengundangku ke rumahnya yang langsung kuiyakan. Tawarannya: peca’ sura. Makanan khas di kampungku yang hanya ada di tiap 10 Muharam. Sajian berupa bubur padat yang dihiasi beragam makanan, telur dadar halus berwarna-warni, ayam goreng, udang, dan menu khas lainnya. Artinya, jika menyia-nyiakan kesempatan ini maka harus menunggu lagi satu tahun. Apalagi, sejak awal Muharam sudah kukontak bahwa aku segera pulang ke Makassar untuk menunggu prosesi penyiapan makanan tersebut.

“Mau datang jam berapa? Bisa setelah asar, bisa juga magrib,” tawarnya yang langsung kusanggupi setelah asar. Hanya saja, aku harus menanti anak lelaki pulang dari kampus, juga istriku yang sejak pagi berangkat kuliah. Keduanya muncul tersisa 40-an menit menuju magrib. Dan temanku yang berada di daerah yang berada di antara kota dan kampungku itu gelisah menunggu kabar. Pesan singkatnya yang menanyakan jadi-tidaknya aku hadir, dua-tiga kali melayar.

Kendaraan kulaju. Melibas sore yang mulai menggelap. Aku bagai berburu, memburu mangsa yang tak bergerak di kejauhan. Di tengah zig-zag, kuteringat setahun silam, saat ke rumah yang sama: rumah temanku. Sore yang tenang, dan aku bersama seorang mahasiswaku dijamu. Hanya kami berdua yang makan. Temanku itu hanya tersenyum. Ramah. Dan ketika pulang sebelum magrib, si teman masih membekali empat piring “peca’ sura” sebagai bekal untuk keluarga. Namun … istriku mendamprat kala kuserahkan. Katanya: “Bapak tidak tahu malu makan di rumah orang yang sedang berpuasa?”

Mestinya kutahu bila di hari ke sembilan dan 10 Muharam, umat Islam berpuasa. Masyarakat di kampungku kemudian menyiapkan “peca’ sura”. Makanan itu menjadi sajian di masjid usai salat magrib, setelah dibarengi gelaran doa. Itu sebabnya, istriku tidak merasa telat saat kuajak ikut ke rumah teman.

Ketika tiba, istri, anak lelaki, anak perempuanku dan adiknya, singgah di masjid. Aku sendiri merapat ke rumah si teman sebab teman lainku juga menanti di sana. Di masjid, mereka salat magrib. Di masjid, mereka menyaksikan proses kultur yang mulai kehilangan aura di tengah geliat masyarakat yang terberangus westernisasi.

Anak-anak dan istri berkisah banyak tentang keriangan anak-anak dan orang tua berebut berkah “peca’ sura”. Mereka menyerap makna kehidupan lewat mata dan hati. “Syukurlah, itulah yang penting. Mereka menjadikan kekhusukan dalam keriuhan. Walau di rumah mereka juga ada makanan yang sama, tetapi mereka butuh berkah …” – terangku secara asal.

Sungguh nikmat, makan malam dengan sajian “peca’ sura” seperti keriangan masyarakat yang berpuasa. Puasa? Duh, aku tak berani mengusik kebahagiaan keluarga. Aku tak ingin protes diri sendiri bahwa aku telah membawanya ke rumah teman yang merayakan keberhasilan berpuasa selama dua hari dengan sajian “peca’ sura”, makanan yang ikut kami nikmati. Padahal, kami tidak ikut puasa.

Kala akan pamit, tiga porsi “peca’ sura” ikut di tangan kami. Pun perjalanan kulanjutkan ke kampung. Istriku ingin tidur dengan ibu yang masih tergeletak sakit di rumah kakaknya. Anak lelaki ingin menyiapkan diri untuk berangak ke tambak, bagian dari proses pendidikannya di dunia ilmu perikanan. Dan ketika tiba di rumah kakak, aku tak berani mengeluarkan “peca’ sura” milik kami dari teman. Di rumah itu, terbilang banyak sajian bubur padat berhias indah itu.

Perjalanan kulanjutkan ke rumah teman. Tujuan diskusi. Saat tiba, anak perempuanku langsung menyodorkan tiga porsi “peca’ sura” yang terbungkus rapi. Dan mataku terbelalak: kami disambut pula dengan “peca’ sura”. Duh, tamu dan tuan rumah bertanding keindahan “peca’ sura”. Duh, bingung … makanan berlebih. Di benakku berkejaran: “Di luar sana, begitu banyak orang yang mungkin belum makan, tapi kami hanya menjadikannya sebagai pelengkap hibur di meja tamu”. Ya, karena kami telah lama kehilangan makna dari keberadaan sajian khas tersebut. Walau kutahu, “peca’ sura” sebagai pertanda merenungi banyak peristiwa di hari 10 Muharam. Hari yang mestinya menjadi kesadaran akan kemenangan. Tapi menang atas apa? Aku sungguh bego! Aku hanya tahu: kenyang dalam lapar ritual!

(Makassar, 25 November 2012)

Tinggalkan komentar